Archive for November 14th, 2011

PENTINGNYA DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS SEBAGAI DANA PERIMBANGAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

Indonesia adalah salah satu negara dari sekian banyak negara yang merupakan negara kesatuan. Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Oleh karena itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, adanya pemerintah daerah adalah ciptaan dari pemerintah pusat melalui undang-undang. Sepenuhnya kedaulatan hanya berada di tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya menjadi subordinasi pemerintah pusat.

Pada dasarnya, seiring dengan cita-cita demokrasi nasional dan proses percepatan pembangunan maka muncul suatu yang dinamakan dengan otonomi daerah. Ini berarti bahwa suatu daerah itu memiliki sifat yang otonom. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi adalah “the legal self suffiency of social body and its actual independence.” Lebih jauh, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, otonomi dapat diartikan sebagai hak untuk mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah. Tentunya, otonomi diberikan sebagai upaya percepatan pembangunan dan peningkatan pelayanan sesuai tuntutan dan prakarsa masyarakat di daerah bersangkutan. Otonomi sebenarnya mengandung nilai-nilai kepercayaan yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah, sehingga akan meredam potensi terjadinya disintegrasi bangsa.

Hal ini menjadi semakin logis dengan diberikannya otonomi pada daerah karena akan sangat sulit mengurus seluruh kepentingan negara yang banyak dan luas ini jika hanya dikerjakan secara terpusat. Oleh karena itu, dalam menjalankan pemerintahannya, utamanya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, Indonesia menganut asas desentralisasi, yang di samping itu terdapat pula asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, hal ini berarti semua urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada daerah.

Dengan terselenggaranya otonomi seluas-luasnya maka diperlukan suatu pengaturan secara adil dan selaras mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas atau sejalan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah menganut prinsip money follow function, yang bermakna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Selanjutnya, perlu untuk diketahui bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Sumber pendapatan daerah dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Pendapatan asli daerah, yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi;
  2. Dana perimbangan, yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antarpemerintah daerah;
  3. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah.

Adapun sumber pembiayaan yaitu sebagai berikut.

  1. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
  2. Penerimaan pinjaman daerah;
  3. Dana cadangan daerah; dan
  4. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Berdasarkan uraian di atas, secara khusus akan dijabarkan mengenai dana perimbangan, utamanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khsusus (DAK). Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Menurut sejumlah literatur, dana perimbangan memiliki makna yang sama dengan pendapatan transfer. Salah satu bentuk pendapatan transfer adalah bantuan (grants). Bantuan (grants) menjadi sumber pendapatan yang utama bagi pemerintah daerah di banyak negara (Bird, 2000; Humes IV, 1991; Wilson dan Game, 1994; Shah, 1994). Istilah lain dari grants yang juga seringkali dipergunakan adalah subsidies atau subventions. Terdapat tiga alasan utama dari penggunaan jenis bantuan ini (Humes IV, 1991: 239) yakni: untuk menambah sumber pendapatan daerah, lalu untuk memenuhi kebutuhan yang berlebihan pendapatan yang terbatas dari area tertentu, dan untuk meningkatkan program tertentu serta menyelipkan kontrol terhadapnya.

Menurut Shah (1994) salah satu jenis utama bantuan adalah non matching transfer, di samping terdapat pula jenis bantuan lain yaitu matching transfer. Namun, di sini akan dipersempit pembahasan mengenai non matching transfer. Non matching transfer dapat dibedakan menjadi selective (conditional) atau general (unconditional) transfer. Selective nonmatching transfer memberikan sejumlah dana tanpa adanya penyesuaian lokal, yang dibelanjakan untuk tujuan tertentu. Bantuan jenis ini cocok untuk menyubsidi aktivitas tertentu yang dinilai berprioritas tinggi bagi pemerintah pada tingkatan yang lebih tinggi tetapi berprioritas rendah bagi pemerintah daerah.

Dalam unconditional (general) nonmatching transfer, tidak ada batasan yang ditentukan mengenai bagaimana bantuan tersebut dibelanjakan. Tidak seperti dalam jenis yang pertama, dalam jenis kedua ini tidak ada batas pembelanjaan minimum bagi area-area tertentu. Karena bantuan ini bisa dibelanjakan atas berbagai kombinasi barang dan layanan publik atau memberikan keringanan pajak bagi warga, maka jenis bantuan ini tidak memengaruhi harga relatif dan memberikan stimulasi terkecil bagi pembiayaan lokal. Implikasi yang disebabkan alasan politis dan birokrasi, bantuan kepada pemerintah daerah cenderung menghasilkan pembelanjaan daerah yang lebih besar daripada transfer tersebut langsung diberikan kepada warga lokal.

Terdapat pula jenis lain beserta peristilahan yang berbeda namun dengan maksud yang sama. Specific grants mempunyai karakter yang mirip dengan conditional non matching transfer. Sementara general atau block grants memiliki karakter yang menyerupai unconditional nonmatching transfer (Humes IV, 1991; Wilson dan Game, 1994; Devas, 1988; Davey, 1988; Shah, 1994). 

Dengan melihat uraian sebelumnya, dipahami bahwa di Indonesia penerapan general purpose grant atau block grant merupakan Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan, specific purpose grant merupakan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU atau general purpose grant atau block grants adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota. Namun demikian, daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Setiap daerah memperoleh besaran DAU yang tidak sama, karena harus dialokasikan atas dasar besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan pendanaan daerah diukur secara berturut-turut dari jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Jumlah DAU 26% ini merupakan jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal penentuan proporsi ini belum dapat dihitung secara kuantitatif. Proporsi DAU antara DAU provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan dalam APBN setiap tahun dan bersifat final.

Dana Alokasi Khusus (DAK)

DAK atau specific purpose grant adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.

Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Hal yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian belanja negara antara lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Daerah tertentu yang dapat memperoleh alokasi DAK ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum berarti mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus berarti memerhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Kriteria teknis merupakan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian negara atau departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana Pendamping harus dianggarkan dalam APBD, namun bagi daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping.

Analisis Mengenai DAU dan DAK Dalam Tataran Otonomi Daerah: Problematika dan Urgensi

Dewasa ini, sejumlah permasalahan kian bermunculan seiring berjalannya otonomi daerah. Salah satu dampak yang krusial adalah banyak wacana mengenai pemekaran daerah. Hal ini menjadi masalah serius di saat suatu daerah pasca pemekaran menjadi sebuah daerah otonom yang baru ternyata tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana tujuan negara yang diamanatkan di dalam konstitusi. Pada dasarnya, tujuan pemekaran adalah positif yaitu untuk lebih mendekatkan pelayanan bagi masyarakat dan meningkatkan pembangunan agar lebih merata. Kendati demikian, cita-cita tersebut akan menjadi sia-sia jika ternyata upaya pemekaran hanya menjadi sebuah alat untuk menguntungkan kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan, bukan berlandaskan kepentingan rakyat banyak. Akibatnya, bukan pembangunan yang lebih baik tercipta, melainkan kemerosotan kesejahteraan rakyat daerah tersebut, karena pemerintah setempat tidak sanggup mengelola pemerintahan dengan baik.

Kondisi yang demikian tentu sangat dipengaruhi oleh kapasitas keuangan suatu daerah guna menjalankan pemerintahannya. Sederhana saja, bahwa untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat ataupun melakukan pembangunan diperlukan dana untuk mewujudkannya. Jika pemerintah daerah tidak memiliki dana, lalu apa yang dapat dilakukan oleh daerah tersebut. Terlepas dari permasalahan ini, praktik otonomi yang telah diterapkan selama ini memiliki konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Realita menunjukkan yang terjadi selama ini adalah masih terdapatnya kesenjangan fiskal vertikal dan kesenjangan fiskal horizontal bagi sejumlah daerah di Indonesia. Kesenjangan fiskal vertikal timbul karena adanya keterbatasan sumber dan kewenangan penerimaan daerah, baik dalam bentuk pajak maupun bukan pajak, serta adanya kebutuhan pengeluaran daerah yang jauh lebih besar. Sedangkan, kesenjangan fiskal horizontal terjadi karena perbedaan kapasitas antardaerah untuk menghasilkan pendapatan sendiri yang tergantung dari distribusi luas dan besarnya kewenangan atas objek dan basis pajak serta kewenangan sumber-sumber nonpajak. Kesenjangan ini dapat pula terjadi karena adanya perbedaan biaya dan tekanan permintaan atas pelaksanaan fungsi-fungsi yang menjadi tanggung jawab daerah bersangkutan.

Hal tersebut tentu berimplikasi pada terjadinya peningkatan kesenjangan pertumbuhan ekonomi antardaerah, kurangnya kemandirian daerah, dan munculnya ketidakpuasan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat memberikan dana perimbangan dalam rangka menciptakan keadilan dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan bagi kepentingan daerah. Dalam hal perimbangan keuangan, pemerintah pusat memberikan bantuan diantaranya berupa Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, di samping Dana Bagi Hasil (DBH). Dana perimbangan yang diberikan pemerintah pada dasarnya adalah untuk menambah sumber pendapatan bagi daerah.

Melalui DAU, pemerintah bertujuan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan potensi daerah, sehingga daerah dapat membelanjakan dana tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan daerahnya. Dalam DAU ini tidak terdapat batasan mengenai bagaimana dana tersebut dibelanjakan, sehingga daerah dapat dengan leluasa memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan yang diinginkan. Namun, masalah yang muncul adalah kemampuan daerah dalam mengelola DAU. Apabila daerah kurang mampu mengelola dana tersebut, maka tidak menutup kemungkinan yang terjadi adalah semakin meningkatnya ketergantungan daerah pada dana perimbangan ini. Pengelolaan terhadap DAU sebaiknya dilakukan dengan selektif agar dananya tidak sia-sia dan bermanfaat bagi publik. Pemanfaatan DAU yang dominan untuk belanja pegawai negeri sipil daerah dapat berdampak pada berkurangnya alokasi belanja modal, berkurangnya alokasi dana untuk penciptaan lapangan pekerjaan, ataupun berkurangnya alokasi dana untuk program penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, sebaiknya pemanfaatan DAU dibuat seimbang dengan belanja lainnya atau mengkaji kembali alokasi yang sangat penting bagi daerah, namun tidak pula melupakan belanja pegawai/penggajian pegawai sebagai suatu keharusan daerah untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia.

DAU diharapkan menjadi sebuah modal dalam rangka menciptakan pemanfaatan yang lebih baik. Sebagai contoh, jika dana dialokasikan untuk kepentingan pembangunan, misal infrastruktur atau layanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) atau upaya perluasan lapangan pekerjaan, maka hal ini akan memiliki dampak yang besar bagi masyarakat dengan tersedianya pelayanan publik yang lebih baik maupun mengurangi pengangguran dengan penyerapan tenaga kerja di sejumlah sentra-sentra lapangan kerja. Dengan demikian, DAU menjadi penting bagi suatu daerah sebagai salah satu pendapatan daerah yang dapat digunakan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan daerah.

Di sisi lain, pemberian DAK oleh pemerintah yang dialokasikan bagi daerah tertentu bertujuan untuk mendanai kegiatan tertentu yang menjadi prioritas nasional. Jadi, penggunaan DAK telah ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga daerah tidak dapat membelanjakannya untuk kebutuhan lain. Daerah yang memenuhi kriteria pada setiap tahunnya akan diberikan DAK. Penggunaan dana tersebut diutamakan untuk proses pembangunan yang menyangkut infrastruktur maupun sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat. Dengan DAK diharapkan terjadi pemerataan dalam pembangunan, serta pelayanan bagi masyarakat. Daerah yang keuangannya kurang mencukupi akan terbantu oleh DAK, sehingga dapat meminimalisir kecemburuan antardaerah. Di samping itu pula diharapkan dapat mencapai standar pelayanan minimal bagi setiap daerah, karena masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Oleh karena itu, DAK menjadi sangat penting fungsinya untuk mencapai kegiatan yang menjadi program nasional.

Kembali pada konteks otonomi daerah, hendaknya para elit politik semakin sadar akan kepentingan masyarakat umum dalam upaya peningkatan kesejahteraan melalui otonomi yang diberikan kepada daerah, bukan mencari-cari kesempatan untuk terus menciptakan daerah-daerah otonom yang baru demi menikmati kekuasaan, yang terkadang mengabaikan sejumlah pertimbangan-pertimbangan. Akibatnya, akan menimbulkan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan karena minimnya keuangan daerah yang bersangkutan. Hal ini kemudian berdampak pada beban negara untuk memberikan bantuan secara terus-menerus yang tidak didukung dengan tata kelola keuangan yang baik. Sejatinya, permasalahan tersebut tidak mungkin sampai sejauh itu, apabila sebuah rencana pemekaran daerah dipertimbangkan dengan baik dan benar, bukan hanya memikirkan kepentingan sesaat para elit politik. Dengan demikian, pemerintah pusat sebaiknya memfokuskan penataan daerah yang ideal untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan potensi keuangan yang dimiliki yang diimplementasikan baik melalui DAU dan DAK. Terakhir, melalui dana perimbangan ini pemerintah pusat dapat mengontrol pemerintah daerah, sehingga  harapan jangka panjang adalah dapat menjaga keutuhan Indonesia dari munculnya berbagai gerakan separatis yang ingin memisahkan diri karena masalah keuangan.

 

Referensi:

http://kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/8.%20Hubungan%20Keuangan%20Pusat-Daerah.pdf

Muluk, Khairul. 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: ITS Press.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan.

Pramusinto, Agus (ed). 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: GAVA MEDIA.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.

Yani, Ahmad. 2009. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.